Karakter Bangsa, Dulu dan Kini
Karakter bangsa Indonesia terbilang kuat sebelum zaman kemerdekaan, tatlaka mencapai kemerdekaan, dan saat mempertahankan kemerdekaan. Bayangkan, hanya bermodalkan bambu runcing, penjajah Belanda yang dilengkapi persenjataan canggih persenjataan canggih berhasil diusir anak-anak bangsa ini.
Kini, karakter masyarakat Indonesia tidak sekuat pada masa lalu, sudah sangat rapuh. Daya juang bangsa ini nyaris hilang ditelan berbagai godaan kepentingan sesaat. Masih tingginya praktik korupsi di Indonesia dan bergentayangannya makelar kasus dengan terindikasi adalanya jaringan mafia hukum merupakan potret buram sistem penegakan hukum di Indonesia.
Belum terselesainya kasus Bank Century, perlakuan diskriminatif dalam penjara yang kini menjadi buah bibir, dan penculikan bayi yang terbukti melibatkan petugas rumah sakit dan Puskesmas, semakin memperkuat pandangan bahwa karakter bangsa ini dalam kondisi yang amat lembek. Keburukan menjadi sesuatu yang biasa dan nilai-nilai kebaikan telah menjadi barang mewah di negeri ini.
Berbagai dekadensi moral ini muncul terkait dengan semakin lemahnya satu pilar pembangunan manusia seutuhnya: pendidikan. Pendidikan kita semakin tanpa arah, bias. Ironisnya, pemerintah masih saja berkukuh menyelenggarakan ujian nasional yang tak memiliki saham berarti untuk menguatkan karakter bangsa.
Cacat Pendidikan
Pendidikan di Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan, dan mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan.
Pendidikan di Indonesia saat ini lebih mengedepankan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan, dan mengabaikan pendidikan karakter. Pengetahuan tentang kaidah moral yang didapatkan dalam pendidikan moral atau etika di sekolah-sekolah saat ini semakin ditinggalkan.
Seperti kata Marvin Berkowitz (1998), kebanyakan orang mulai tidak memerhatikan lagi bagaimana pendidikan itu dapat berdampak terhadap perilaku seseorang. Itulah cacat terbesar pendidikan gagal untuk menghadirkan generasi anak-anak bangsa yang berkarakter kuat.
Pendidikan seharusnya mamapu menghadirkan generasi yang berkarakter kuat, karena manusia sesungguhnya dapat dididik, dan manusia pada dasarnya adalah animal seducandum, yaitu “binatang” yang harus dan dapat dididik.
Itulah makanya filsuf Aristoteles mengingatkan, sebuah masyarakat yang budayanya sudah tidak lagi memperhatikan pentingnya pendidikan atau tidak lagi menempatkan pendidikan sebagai suatu good habits, akan membuat masyarakat menjadi terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan buruk.
Karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa Yunani yang berarti “menandai”, yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Jadi, seseorang disebut berkarakter bila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Karena itu, seseorang perlu mendapatkan pendidikan karakter.
Dengan pendidikan karakter, kata Thomas Lickona (1991), budi pekerti dan tingkah laku orang tersebut terbentuk. Hasilnya akan terlihat dalam tindakan nyata. Orang tersebut akan bertingkah laku baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, bekerja keras, dan lain-lain.
Untuk memiliki karakter atau budi pekerti yang baik itu perlu adanya latihan yang serius dan terus-menerus. Meski manusia memiliki karakter bawaan, itu tidak berarti karakter itu tak dapat diubah. Perubahan karakter mengandaikan suatu perjuangan yang berat, suatu latihan yang terus-menerus untuk menghidupi nilai-nilai yang baik.
Kita tentu setuju bahwa membangun sebuah kebiasaan untuk berbuat baik itu tak selalu mudah, meski dorongan untuk berbuat kebaikan memang ada. Tapi, jika dorongan yang tidak baik itu terus dibiarkan hadir, keinginan yang baik dengan mudah didesak mundur. Bila kecenderungan-kecenderungan ke arah yang tidak baik berkembang semaunya, kekacauanlah yang terjadi.
Semua agama tentu mengajarkan kebaikan dalam diri seorang anak manusia. Masalahnya, bagaimana manusia itu mengonstruksi diri sendiri, di mana yang baik dikembangkan dan yang jelek dikurangi atau dihilangkan, itulah pekerjaan yang harus dilakukan setiap saat, setiap hari.
Karena itu, dalam banyak hal karakter yang baik lebih patut dipuji dibandingkan bakat yang luar biasa. Bakat adalah anugerah, sedangkan karakter yang baik tidak dianugerahkan. Karakter yang baik lahir dari latihan dan perjuangan yang keras, terus-menerus, sebuah latihan yang tak kenal lelah. Seperti kata Tolbert McCarrol, karakter adalah kualitas otot yang terbentuk melalui latihan setiap hari dan setiap jam. Otot karakter kita akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan menjadi kuat kalau sering dilatih.
Peranan Guru
Pendidikan di Indonesia yang mengutamakan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan, dan mengabaikan pendidikan karakter, sudah saatnya harus dibenahi. Indonesia memerlukan pendidikan karakter agar tampil pribadi-pribadi unggul, kuat, dan tahan uji.
Pendidikan di Indonesia yang mengutamakan penguasaan aspek keilmuan, kecerdasan, dan mengabaikan pendidikan karakter, sudah saatnya harus dibenahi. Indonesia memerlukan pendidikan karakter agar tampil pribadi-pribadi unggul, kuat, dan tahan uji.
Sudah waktunya pemerintah fokus pada bagaimana memperbaiki mutu pendidikan yang terfokus pada pembangunan karakter. Pemerintah perlu memperbaiki perpustakaan sekolah untuk meningkatkan budaya baca dengan menghadirkan buku-buku bacaan berkualitas tentang budaya bangsa yang mengajarkan nilai-nilai moral dan memberi banyak kesempatan untuk menghidupi nilai-nilai moral tersebut.
Peran guru di sini menjadi sangat penting dan strategis. Mereka adalah wajah pendidikan kita. Karena itu, guru patut diberikan kedudukan terhormat, termasuk juga pemenuhan kebutuhannya, tidak hanya untuk sekolah negeri, tetapi juga guru-guru swasta.
Binsar A. Hutabarat, Penulis adalah Peneliti Reformed Center for Religion Society